12.21.2011

SAHNYA PERJANJIAN


Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Akta dapat dibedakan dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Suatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditanda tangani, harus dibuat dengan sengaja, dan harus dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Dalam KUH Perdata, ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai Pasal 1880.

Perbedaan Pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti notaris,hakim,panitera,juru sita,pegawai pencatat sipil).
Untuk akta di bawah tangan, cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau di hadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses verbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian. Akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa-menyewa rumah dan surat perjanjian jual beli.

Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik merupakan bukti yang mengikat, yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KUH Perdata, jika akta di bawah tangan tanda tangannya
diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang mendapatkan hak darinya.

Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea materai. Dengan tiadanya materai dalam suatu perjanjian (misalnya perjanjian jual beli), tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya  materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata. Jika suatu surat yang dari semula tidak diberi materai dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka pemateraian dapat dilakukan belakangan.

sumber: hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar